MAQAMAT DAN AHWAL DALAM
TASAWUF
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas UAS
Mata
Kuliah: Ilmu Tasawuf
Dosen
Pengampu: Drs. H. Masdi, M. Ag
Oleh:
1.
Vina Nailul Farikh (1310110428)
2.
Riyanti Afidah (1310110429)
3.
Choirin Nisa’ (1310110431)
JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tasawuf merupakan salah
satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek
rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini
seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta
mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis
terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang
dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah.
Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara
bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah.
perjalanan menuju Allah
untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi
sering disebut sebagai sebuah kerangka ‘Irfani.
Lingkup ‘Irfani tidak
dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang.
Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal
(jama’ dari hal). maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antar keduanya dapat dilihat dalam
kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan
ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan
mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Dua
persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Untuk itu pemakalah akan membahas tentang maqam dan
ahwal dalam tasawuf.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan maqamat dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2.
Apa yang dimaksud dengan ahwal dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Maqamat dan Tahapan-Tahapannya dalam Tasawuf
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqom
mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu
tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang
diusahakan berupa riyadhah, ibadah, mujahadah. Sedangkan secara harfiyah
maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau.
pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan
panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.[1]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi
tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li
Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan
bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah
dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’,
al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi
penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka
disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah)
terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya
sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan).
Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah
maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan
al-ridl.[2]
a.
Taubat
Makna
tobat dalam bahasa arab adalah “kembali”. “ia bertobat” berarti “ia kembali”.
Jadi tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu
yang dipuji olehnya.[3]
Taubat seperti
dijelaskan oleh Imam Ghazali dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah
sebuah makna yang terdiri dari tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah, mengetahui
besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan seluruh yang ia
senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh hati,
pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan kepedihan
karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya
yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu
diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan
penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan
menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain,
yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini,
kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan
dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad
untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga
sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia
lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.[4]
(#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya: “bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[5]
b. Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba
‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah.[6]
Al Junayd mengajarkan “Zuhud
adalah kekosongan hati dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya”.
Syiekh Abu Ali ad-Daqqaq
mengatakan, “Zuhud adalah hendaknya anda meninggalkan dunia sebagaimana adanya
ia, bukan berkata, ‘aku akan membangun pondok sufi atau mendirikan masjid’.”[7]
c. Sabar
Sabar secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi,
sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam
pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap
tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya
berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar erat
hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian
emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi
harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.[8]
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai
pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr
an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar
badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam
berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[9]
d. Wara’
Wara’, secara
harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan
segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan,
pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh
Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’
batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang
masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah
adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.
Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari
syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang
menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif
yang sanggup menghayati dengan hati nurani[10]
e.
Faqr
Secara harfiah fakir
biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita[11]
f. Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri.
Al-Qusyairi mengatakan
bahwa tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan
tidak mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah
hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah.
Mereka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya
takdir Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan
yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri
kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika
mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan
menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan
apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih
berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah.
Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.[12]
g. Ridla
Ridha, secara harfiah,
berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak
menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar
dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang
tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari
Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan
kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta
yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan
yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah
Swt.
h. Mahabbah
Mahabbah berasal
dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang
untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang
mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah, Rabi’ah
al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam
pandangan Rabi’ah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada
siapa pun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan
neraka sekalipun.[13]
i.
Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari
kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari
orang yang mengenal Allah SWT, melalui nama-nama serta sifatNya dan berlaku
tulus kepada Allah SWT dengan muamalatnya, kemudian meenyucikan dirinya dari sifat-sifat
yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (rohani) dan yang senantiasa
I’tikaf dalam hatinya.[14]
2.
Ahwal dan Tahapan-Tahapannya dalam Tasawuf
Ahwal
merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau
keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada
seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa
maupun datang dari tuhan sebagai pemberian semata.
Syaikh Abu Nashar As Saraj berpendapat bahwa
hal ialah keadaan yang meliputi hati seseorang atau perasaan yang terkandung di
dalamnya.Atau hal artinya keadaan suasana batiniah,yang bergantung bukan pada
sang sufi melainkan kepada Tuhan.
Menurut
sufi al-ahwal jamak dari al-hal dalam bahasa inggris disebut state adalah
situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan dari
hasil usahanya. Sedangkan menurut al- Qusyairi al-hal selalu bergerak setahap
demi setahap ketingkat puncak kesempurnaan rohani.[15]
hal-hal
yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi,antara lain waspada dan mawas
diri (muhasabah dan muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta
(hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram
(thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin. Penjelasannya sebagai
berikut:
a. Waspada dan mawas diri
(Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan mawas diri
merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu ,ada sufi yang
mengupasnya secara bersamaan.Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari
tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari
pembawaan nafsu dan amarah .Waspada (muhasabah) dapat diartikan menyakini bahwa
Allah SWT .Mengetahui segala pikiran,perbuatan ,rahasia dalam hati,yang membuat
seseorang menjadi hormat,takut,dan tunduk kepada Allah SWT.Adapun mawas diri
(muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatannya
sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
b. Cinta (hubb)
Dalam pandangan tasawuf,
mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal ,sama seperti
tobat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam.Karena mahabbah pada dasarnya
adalah kecendrungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.
Berkenaan dengan
mahabbah,Suhrawardi mengatakan, ‘’sesungguhnya mahabbah(cinta) adalah mata
rantai keselarasan yang mengikat sang pencipta kepada kekasihnya.Ketertarikan
kepada kekasih ,yang menarik sang pencipta kepadanya ,dan melenyapkan sesuatu
dari wujudnya sehingga ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya,kemudian
menangkap zatnya dalam genggam qudrat (Allah).
c. Berharap dan takut (Raja’
dan Khauf)
Bagi kalangan sufi ,raja’
dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi.Raja’berarti berharap atau
optimism .Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi.Raja’ atau optimism ini telah ditegaskan
dalam Al-qur’an;(Q.S.Al-Baqarah(2)218)
Artinya: Sesungguhnya orang –orang yang beriman dan berhijrah
dan berjihad dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat
Allah. Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Raja’ menuntut 3 perkara
yaitu:
1)
cinta pada apa yang
diharapkannya
2)
takut harapannya hilang
3)
berusaha untuk
mencapainya
Raja’
yang tidak dibarengi dengan 3 perkara itu hanyalah ilusi atau khayalan. Setiap
orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk
sampai disuatu tempat tepat pada waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena
takut terlambat ,ia mempercepat jalannya. Begitu pula ,orang yang mengharap
ridha atau ampunan Tuhan ,diiringi pula dengan rasa takut akan siksaa
Tuhan
Ahmad
faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah SWT.untuk
menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya ,mereka
dapat dekat kepada Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan
sesuatu yang ditakuti ,yang akan menimpa dirinya pada masa yang akan datang
.Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa
berada dalam ketaatan.
Raja’
saling berhubungan.Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani
berbuat maksiat,sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa
dan pesimis.Begitu juga sebaliknya ,terlalu besar sikap raja akan membuat
seseorang sombong dan meremehkan amalan –amalannya karena optimisnya yang
berlebihan.
d. Rindu(syauq)
Selama masih ada
cinta ,syauq tetap diperlukan dalam lubuk jiwa ,rasa rindu hidup dengan
subur,yaitu rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan.Ada orang yang mengatakan
bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar.Lupa kepada Allah SWT.Lebih
berbahaya daripada maut .Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,mati dapat berarti
bertemu dengan Tuhan.
e. Intim(uns)
Dalam pandangan kaum sufi
,sifat uns (intim )adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi
.Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns: ‘’Ada orang yang merasa sepi dalam
keramaian.ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Adapula orang yang
merasa bising dalam kesepian .Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau
merencanakan tugas pekerjaannya semata .Adapun engkau, selalu merasa berteman
dimanapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah SWT artinya,
engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah SWT.
Ungkapan ini melukiskan
keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya.Sikap keintiman ini
banyak dialami oleh kaum sufi.[16]
BAB III
KESIMPULAN
1. Maqamat
meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak
dua telapak Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan
dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti
kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa
ibadah, perjuangan, dan latihan. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari
bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini
selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Macam-macam
maqamat diantaranya:
a.
Tobat
b.
Zuhud
c.
Faqr(faqir)
d.
Mahabbah
e.
Ma’rifat
f.
Rela (ridha)
g.
Tawakkal
h.
Wara’
2. Ahwal
merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau
keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada
seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa
maupun datang dari tuhan sebagai penbrian semata.
Macam-macam
hal:
a.
Waspada dan mawasdiri(
muhasabbah dan murakobbah)
b.
Cinta (hubb)
c.
Berharap dan takut (raja’
dan khauf )
d.
Rindu (syauq )
e.
Intim (uns )
DAFTAR PUSTAKA
Sholihin, M. 2003. Tasawuf Tematik.Bandun: Pustaka
Setia.
Abuddinnata. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Luqman Hakiem, M..1999.
Risalatul Qusyairiyah ”Induk Ilmu Tasawuf
“. Surabaya: Risalah Gusti.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011.
Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA Press.
Syukur, Amin. 2004. Zuhud di Abad Modern.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Anwar, Rosibon dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf.Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2003. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siregar , Riva’i A.
2001. Tasawwuf dari sufisme klasik ke neo sufisme. Jakarta: Rajawali
Press.
Anwar
, Rosihan. 2010. Ahklak Tasawu.,
Bandung: Pustaka Setia..
KRITIK DAN SARAN
PERTANYAAN:
1.
Izzatin Nisa’
Tahapan dalam
menempuh jalan sufi salah satu diantaranya adalah Mahabbah. Lalu sebagai remaja
yang dalam pergaulan zaman sekarang cenderung bebas, pacaran antarlawan jenis.
bagaimana cara kita untuk mencintai Allah?
2.
Khusnawati
Maqamat dalam tasawuf
itu diantaranya adalah Wara’. Lalu bagaimana caranya untuk menghilangkan
sesuatu hal yang tidak jelas hukumnya?
3.
Imam Ahmad Badawi
Maqamat dalam
tasawuf diantaranya adalah Zuhud. Apakah semua orang berpotensi untuk menjadi
zuhud?
4.
Ina Rahmawati
Maqamat dalam
tasawuf diantaranya adalah sabar. Bagaimanakah batasan sabar itu?
JAWABAN:
1.
Banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk mencintai
Allah, diantaranya:
a.
Senantiasa menjalankan perintahNYA dan menjauhi
laranganNYA.
b.
Selalu menempatkan Allah pada derajat cinta yang paling
tinggi. Melebihi cinta kita pada teman, apalagi pada pacar.
c.
Selalu berdzikir pada Allah.
d.
Selalu bersyukur dan menerima segala yang telah diberikan
oleh Allah.
e.
Berjihad di jalan Allah.
2.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menjadi wara’,
diantaranya:
a.
Sangat
berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b.
Menjauhi
semua yang diragukan (syubhat).
c.
Tidak
berlebihan dalam memanfaatkan sesuatu.
d.
Tidak
memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
e.
Meninggalkan
perkara-perkara yang tidak berguna.
3.
Ya. Tentu semua bisa berpotensi untuk menjadi
seorang zuhud. Tergantung seberapa besar keinginan orang tersebut untuk
sungguh-sungguh berzuhud.
4.
Sabar itu tidak ada batasnya. Hakikatnya, kesabaran itu tidak memiliki batas sebagaimana ganjaran
yang Allah sediakan bagi mereka yang bersabar pun tidak memiliki batas.
[1]M.
Sholihin. Tasawuf Tematik. Pustaka
Setia. Bandung. 2003. Hlm. 13
[3]M.
Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah
”Induk Ilmu Tasawuf “. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.79
[4]http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html,
diunduh di Kudus, tanggal 3 maret 2014, pukul 11.00 WIB
[7]
M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah
”Induk Ilmu Tasawuf “. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.112
[11]
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual
Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2003. Hlm. 3
[12]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
Rajawali Press. Jakarta. 2011. Hlm. 202
[14]
M. Luqman Hakiem. Risalatul Qusyairiyah
”Induk Ilmu Tasawuf “. Risalah Gusti. Surabaya. 1999. Hlm.390
[15]Riva’i
A. Siregar. Tasawwuf dari sufisme klasik
ke neo sufisme. Rajawali Press. Jakarta. 2001. Hlm. 131
[16]
Rosihan Anwar. Ahklak Tasawu.,Pustaka Setia. Bandung. 2010. Hlm. 201.