Senin, 24 Maret 2014

Filsafat Idealisme



FILSAFAT IDEALISME


MAKALAH


Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat
Dosen Pengampu: Drs. H. Mohammad Afif




Oleh:
1.               Riyanti Afidah              (1310110429)
2.               Choirin Nisa’               (1310110431)
3.               Firdaus Gilang R.        (1310110463)


JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KUDUS
2013
A.    PENDAHULUAN
Ilmu filsafat sebetulnya banyak aliran atau paham, diantaranya seperti aliran renaisance, rasionalisme, idealisme, empirisme, pragmatisme, existentialisme, dan masih banyak lagi. Antara aliran atau paham yang satu dan yang lainnya ada yang saling bertentangan dan ada pula yang memiliki konsep dasar sama. Akan tetapi meskipun bertentangan, bukanlah untuk saling dipertentangkan. Justru dengan banyaknya aliran atau paham yang sudah diperkenalkan oleh tokoh-tokoh filsafat, kita dapat memilih cara yang pas dengan persoalan yang sedang kita hadapi. Antara aliran atau paham yang satu dengan yang lainnya dapat saling mendukung. Seperti penyelesaian masalah yang sederhana misalnya, kita bisa menggunakan logika klasik, untuk menggali ilmu-ilmu yang ada di alam, kita dapat menggunakan cara empirisme, untuk membantu pemahaman bisa menggunakan paham rasionalisme, dan untuk persoalan yang kompleks kita dapat menggunakan teorinya idealisme (dialektika).
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah pengertian filsafat?
2.      Apakah pengertian idealisme?
3.      Bagaimanakah wujud idealisme mahasiswa?
C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian Filsafat
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut berasal dari kata Yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philein yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta, dan Sophia yang berarti kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata Inggris philosophy yang biasa diterjemahkan sebagai “cinta kearifan”.
Plato memberikan istilah dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi. Dikatakan demikian karena filsafat harus berlangsung sebagai upaya memberikan kritik terhadap berbagai pendapat yang berlaku. Kearifan atau pengertian intelektual yang diperoleh lewat proses pemeriksaan secara kritis ataupun dengan berdiskusi.juga diartikan sebagai suatu penyelidikan terhadap sifat dasar yang penghabisan dari kenyataan. Karena seorang filosof akan selalu mencari sebab-sebab dan asas-asas yang penghabisan (terakhir) dari benda-benda.[1]
2.      Pengertian Idealisme
Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.[2]
Adapun ayat AlQur’an yang berkaitan dengan idealisme adalah AlQur’an surat Ali Imron ayat 104:

وَلْتَكُن مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون

Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”[3]
Menurut Ahmad Agung yang dikutip dari bukunya Juhaya S. Pradja (1987 : 38) ada beberapa jenis idealisme, diantaranya :
a.      Idealisme subjektif atau juga disebut immaterialisme, mentalisme, dan fenomenalisme. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa, dan persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada. Objek pengalaman bukanlah benda material; objek pengalaman adalah persepsi. Oleh karena itu benda-benda seperti bangunan dan pepohonan itu ada, tetapi hanya ada dalam akal yang mempersepsikannya.
b.      Idealisme objektif, yakni dikatakan bahwa akal menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
c.       Idealisme individual atau idealisme personal, yaitu nilai-nilainya dan perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme ini muncul sebagai protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik.[4]

Pelopor idealisme: J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).[5]
Idealisme mempunyai argument epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena mereka tidak menggunakan argument yang mengatakan bahwa objek-objek fisik pada akhirnya adalah ciptaan tuhan, argument orang-orang idealisme mengatakan bahwa objek-objek tidak dapat dipahami terlepas dari spirit.[6]
Menurut Plato ide tidak diciptakan oleh pemikiran manusia. Ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada ide. Ide adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Ide sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran kita. Ide-ide ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, ide tentang dua buah lukisan tidak dapat terlepas dari ide dua, ide dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan ide genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan ide-ide tersebut. Puncak inilah yang disebut ide yang “indah”. Ide ini melampaui segala ide yang ada.
Tokoh  aliran idealisme adalah plato (427-374 SM), ia adalah murid sokrates. Aliran idealisme adalah suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Ia adalah murid dan teman Socrates. Setelah runtuhnya penguasaan Tiga Puluh Penguasa Lalim ia terpaksa meninggalkan Athena, dan ia tidak hadir pada peristiwa kematian serta proses peradilan Socrates. Karena sering mengadakan perlawatan ia memperoleh pengetahuan yang banyak jumlahnya. Usaha untuk menerapkan teori-teorinya pada pemerintahan Dionysius I di Syarcuse mengalami kegagalan. Pada tahun 387 pada pemerintahan Dionysius II di Syarcuse, Plato sekali lagi menerapkan teori-teorinya, namun kembali mengalami kegagalan. Percobaan yang ketiga pada tahun 361 akhirnya juga kandas.[7]
Sejak berumur 20 tahun plato mengikuti pelajaran sokrates. Pelajaran itulah yang memberi kepuasan baginya. Pengaruh sokrates makin hari makin mendalam padanya. Ia menjadi murid sokrates yang setia. Sampai pada akhir hidupnya sokrates tetap menjadi pujaannya. Dalam segala karangan  yang berbentuk dialog, bersoal jawab, sokrates kedudukannya sebagai pujangga yang menuntun. Dengan cara begitu ajaran plato tergambar keluar melalui mulut sokrates. Setelah pandangan filosofinya sudah jauh menyimpang dan sudah lebih lanjut dari pandangan gurunya, ia terus berbuat begitu. Sokrates digambarkannya sebagai juru bahasa isi hati rakyat di Ahtena yang tertindas karena kekuasaan yang saling berganti. Kekuasaan demokrasi yang meluap menjadi anarki dan sewenang-wenang digantikan berturut-turut oleh kekuasaan seorang tiran dan oligarki, yang akhirnya membawa Athena lenyap ke bawah kekuasaan asing.
Menurutnya cita adalah gambara asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera, dalam pertemuan jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap yang nyata hanya idea, dan idea yaitu selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran yang alami gerak yang tidak dikategorikan idea.
Keberadaan idea tidak nampak dalam wujud lahiriah tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea sebab, posisinya tidak menetap sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli, keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaan sangat mutlak, tidak bisa digunakan oleh material. Pada kenyataaanya idea digambarkan dengan dunia yang tidak terbentuk, demikian jiwa bertempat didalam dunia yang tidak bertubuh yang dikatakan dunia idea.
Dunia idea adalah pekerjaan rohani yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguson rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yag lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi maupun dunia luar yang tidak dapat dikenal tetapi melainkan dunia daya hidup yang kreatif.[8]
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan 2 macam realita yaitu :
1.      Yang Nampak, yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini.
2.      Realitas sejati, yaitu merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh didalamnya terdapat nila-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang Nampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya aliran idealisme mendasari semua yang ada dan yang nyata didalam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang nampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan. Arche sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainya. Oleh karena itu adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk kebudayaan dan keberadaan baru.[9]
Sebagaimana Phidom mengetengahkan dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan disini adalah jiwa atau sukma, dengan demikian dunia pun terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Dunia nyata dan dunia tidak nyata.
2.      Dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang tidak kelihatan (kosmos neotos).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasinya dimana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada dihadapan manusia, sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui apa dibalik alam nyata.
Memang kenyataannya sukar untuk mengerti unsur-unsur yang ada pada ajaran idealisme khususnya dengan plato ini disebabkan aliran platonisme bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu dari pada menampilkannya dan mencari dalil keterangan itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakana bahwa pikiran plato itu bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Adanya buah pikiran plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Menurut Betran Russel adapun buah pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat plato adalah sebagai berikut :
a.       Kota utama yang merupakan idea yang belum pernah dan dikemukakan orang sebelumnya.
b.      Pendapatnya tentang idea merupakan buah pikiran utama yang mencoba memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh, persoalan itu yang sampai sekarang belum terpecahkan.
c.       Pembahasan dan dalil yang dikemukakannya tentang keabadian.
d.      Buah pikiran tentang alam / cosmos.
e.       Pandangannya tentang ilmu pengetahuan.
Disisi lain filsafat idealisme plato banyak memberikan pengaruh dan sumbangan ke dalam dunia pendidikan. Dimana plato mendasari pendidikan itu kaitannya sangat perlu, baik bagi dirinya selaku individu maupun bagi warga Negara dan ditambahkannya bahwa pelaksanaan pendidikan harus mengenyam pendidikan.[10]
3.      Idealisme Mahasiswa
Sejarah Indonesia adalah sejarah kehidupan mahasiswa. Generasi pemuda yang hampir selalu muncul sebagai penentu perubahan-perubahan besar dalam kehidupan bangsa. Soekarno telah menandai awal mula mahasiswa sebagai kehidupan bangsa dan menjadi penyalur antara rakyat dan penguasa sehingga menyebut dirinya “Penyambung Lidah Rakyat”. Belum lagi peristiwa 66, Malari, atau yang masih terngiang oleh kita, yaitu reformasi. Semua berbicara mengenai kehidupan bangsa dan mahasiswa.
Idealisme mahasiswa  adalah sebagai agen perubahan ‘agent of change’, kekuatan moral ‘moral force’, dan agen control sosial ‘agent of control social’. Perguruan tinggi adalah embrional dari segala kehidupan bangsa, mahasiswa adalah elemen penting di dalamnya. Idealisme yang diagungkan seorang mahasiswa adalah sebuah harta benda yang bernilai. Barang berharga yang mungkin tak lagi dimiliki ketika lepas dari status mahasiswa. Idealisme mahasiswa mencerminkan idealisme calon pemimpin negeri ini kelak.
Mahasiswa menempatkan dirinya sebagai sebuah pemegang idealisme paling handal. Tak heran banyak kita dengar ucapan dari mahasiswa bahwa “Idealisme saya adalah harga mati dan tak akan saya jual demi apapun.” Idealisme bagi mahasiswa bukanlah sekadar dunia ideal yang begitu dalam akan teori dan mengambang di realita. Idealisme mahasiswa adalah pertengahan di antara keduanya. Pertemuan itu dijembatani oleh kesadaran moral mahasiswa yang dekat dengan rakyat dan sadar akan peran dan posisinya di negeri ini.
Dengan idealisme pula lah mahasiswa dapat berjalan sesuai dengan rel perjuangan yang telah dipilih. Rel perjuangan itulah yang telah menjadi warna dalam perjuangan mahasiswa. Namun, semua rel itulah yang akan menjadi jalan penghubung dan bertemunya sebuah idealisme mahasiswa yang otentik. Idealisme yang datang dari alam pikir dan alam semesta. Stasiun yang mempertemukan semua rel perjuangan adalah hati nurani bangsa. Sehingga pada dasarnya semua pergolakan yang dilalui demi satu tujuan dan berawal dari satu alasan, yaitu rakyat. Inilah idealisme mahasiswa yang sejati.[11]


D.    KESIMPULAN
1.      Secara etimologi, kata filsafat berasal dari kata Yunani filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofein yang berarti mencintai kebijaksanaan.
Plato memberikan istilah dengan dialektika yang berarti seni berdiskusi.
2.      Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
3.      Idealisme mahasiswa  adalah sebagai agen perubahan ‘agent of change’, kekuatan moral ‘moral force’, dan agen control sosial ‘agent of control social’.
E.     PENUTUP
Alhamdulillah pemakalah panjatkan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah ini sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Filsafat.
Pemakalah menyadari bahwa sebagai manusia biasa pasti tidak luput dari segala kesalahan dan kekeliruan. Maka apabila di dalam penyusunan makalah ini terdapat kesalahan, pemakalah mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan/perbaikan makalah ini.
Demikianlah makalah yang dapat pemakalah susun, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Amin Yaa Robbal ‘alamiin..




[1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 1
[2] Bernard Delfgaauw, Sejarah Singkat Filsafat Barat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hlm. 59.
[3] Alqur’an dan Terjemahannya.
[4] http://Aliran-idealisme-dalam-filsafat-pendidikan.html/, diunduh pada tanggal 24 September 2013, jam 05.30 WIB.
[5] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 120.
[6] Bernard Delfgaauw, Sejarah Singkat Filsafat Barat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hlm. 60.
[7] Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Cet. VI, PT. Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm. 137.
[8] Abdullah Jalaluddin, Filsafat Pendidikan, 1997, hlm. 58
[9] H. Bakry, Sistematika Filsafat, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm.56.
[10] Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat modern, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm.35.

[11] http://idealisme.mahasiswa=Idealisme-hati-nurani-bangsa_ijongisme.html/, diunduh pada tanggal 24 September 2013, jam 05.30 WIB.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum. 2012. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Delfgaauw, Bernard. Sejarah Singkat Filsafat Barat. 1992. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI. 1994. Bandung: PT. Rosdakarya.
Jalaluddin, Abdullah. Filsafat Pendidikan. 1997.
Bakry, H. Sistematika Filsafat. 1992. Jakarta: Wijaya.
Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat modern. 1986. Jakarta: Gramedia.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar